Pernikahan Itu memiliki adab-adab dan hak-hak dua pihak: yaitu masing-masing dari suami isteri menunaikan hak-hak bagi pasangannya serta memperhatikan kewajiban-kewajiban baginya supaya terealisasi kebahagiaan, kehidupan jernih dan keluarga tenang nyaman. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٢٢٨)
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al Baqarah [2]: 228).
Hak isteri atas suami:
Suami wajib menafkahi isterinya dan anak-anaknya dan konsekwensi lainnya berupa pakaian dan tempat tinggal sesuai hal yang ma’ruf (hal yang wajar). Dia juga wajib berjiwa baik, bergaul baik lagi baik dalam menemani mereka, dia mempergauli isteri dengan lemah lembut, halus dan ceria, dia santun bila isteri marah dan membuatnya ridla bila ia kesal, dia sabar memikul gangguan darinya, dia memperhatikan pengobatannya bila ia sakit, membantunya dalam mengurusi pekerjaan rumahnya, memerintahkannya untuk mengerjakan kewajiban dan meninggalkan yang haram, dia mengajarinya agama bila ia jahil atau lalai, tidak membebaninya apa yang ia tidak sanggup, tidak menghalanginya dari apa yang ia minta berupa hal yang mungkin atau mubah, dan menjaga kehormatan keluarganya serta tidak menghalanginya dari mereka.
Suami boleh istimta’ (bersenang-senang menggauli) isterinya dengan apa yang mubah kapan saja dan bagaimana saja selama tidak membahayakan isteri atau menyibukannya dari yang wajib.
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي × قال: «.. وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْراً، فَإنَّـهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ، وَإنَّ أعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أعْلاهُ، فَإنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَـهُ، وَإنْ تَرَكْتَـهُ لَـمْ يَزَلْ أعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْراً». متفق عليه
Dari Abu Hurairah radliyallahu’anhu dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berkata: “Baik-baiklah terhadap wanita karena sesungguhnya bagian yang paling bengkok dalam tulang rusuk adalah bagian atasnya, di mana bila kamu meluruskannya maka kamu mematahkannya, dan bila kamu membiarkannya maka ia senantiasa bengkok, maka baik-baiklah terhadap wanita” (Muttafaq’alaih) [29]
Hak-hak suami atas isterinya
Isteri wajib menemani suaminya, merapihkan rumahnya, mengatur tempat tingalnya, mendidik anak-anaknya, tulus kepadanya, menjaga kehormatan suaminya pada dirinya (isteri), hartanya dan rumahnya. Dia wajib menyambutnya dengan wajah ceria dan berseri-seri, berhias untuknya, menghormatinya, memuliakannya, dan mempergaulinya dengan cara terbaik, menyediakan baginya sebab-sebab ketenangan dan membuatnya gembira supaya dia mendapatkan di rumahnya kebahagiaan dan ketentraman.
Dia wajib mentaatinya selain dari maksiat kepada Allah, dia menghindari apa yang membuatnya marah, tidak keluar dari rumahnya kecuali dengan izinnya. Tidak menyebarkan rahasianya, tidak bertindak pada hartanya kecuali dengan izinnya. Tidak memasukan ke dalam rumahnya kecuali orang yang disukai suaminya, wajib menjaga kehormatan keluarga suaminya serta membantunya sebisa mungkin disaat dia sakit atau lemah.
Dan dengan ini kita mengetahui bahwa wanita di rumahnya menunaikan bagi suaminya dan masyarakatnya tugas-tugas yang besar yang tidak lebih kecil dari pekerjaan suami di luar rumah, sehingga orang-orang yang ingin mengeluarkan wanita dari rumahnya, maka mereka itu telah tersesat dari mengetahui kepentingan-kepentingan dien dan dunia dengan ketersesatan yang jauh, dan menyesatkan orang lain sehingga rusaklah masyarakat-masyarakat mereka.
Keutamaan ketaatan isteri kepada suaminya selain dalam maksiat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala: Dari Abdurrahman Bin Auf radliyallahu’anhu berkata: Berkata Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam: “Bila wanita shalat lima waktu, shaum bulan (Ramadhan)nya, menjaga kemaluannya dan mentaati suaminya, maka dikatakan kepadanya: “Masuklah kamu ke dalam surga dari pintu mana saja yang kamu sukai” (HR. Ahmad) [30]
Haram menahan hak pasangannya, dan (haram) merasa terpaksa memberikannya, juga mengungkit-ungkit serta menyakiti.
Suami haram menggauli isterinya pada saat haid sampai ia suci, bila ia menggaulinya di awal haid maka ia wajib bersedekah satu dinar, dan bila menggaulinya saat darah sudah berhenti (tapi belum mandi) maka wajib setengah dinar (1 dinar = 4,25 gram mas).
Haram menggauli isteri pada duburnya, dan Allah tidak melihat kepada laki-laki yang menggauli isteri pada duburnya. Dubur adalah tempat kotoran.
Bila wanita sudah suci dari haid dan darah sudah berhenti darinya maka suami boleh menggauli setelah ia mandi. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (٢٢٢)
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS. Al Baqarah [2]: 222).
Suami boleh memaksa isteri untuk mandi dari haid, membersihkan najis dan memotong apa yang dirasa jijik oleh jiwa seperti rambut (kemaluan) dan yang lainnya.
Bila suami menggauli isterinya, bila ternyata air mani suami lebih dahulu maka anak menyerupai dia, dan bila air wanita ada di atas maka menjadi perempuan dengan izin Allah Ta’ala.
Boleh ‘azl bagi pria (yaitu menumpahkan air mani di luar rahim), namun tidak melakukannya adalah lebih utama, karena ‘azl itu mengurangi kenikmatan wanita dan menghilangkan banyaknya keturunan yang mana ia adalah masuk tujuan nikah.
Boleh karena diudzur atau kebutuhan membuang nuthfah (sel telur yang sudah dibuahi) selama empat puluh hari dengan memakai obat yang mubah, dengan syarat izin suami dan tidak membahayakan isteri. Dan tidak boleh menggugurkannya karena khawatir dari banyak anak atau karena tidak mampu dari menghidupinya atau mendidiknya.
Haram bagi suami menggabungkan dua isteri atau lebih dalam satu rumah kecuali dengan kerelaan mereka, dan tidak boleh safar dengan salah satunya kecuali dengan qur’ah (diundi), dan barangsiapa memiliki dua isteri terus dia cenderung kepada salah satunya maka dia datang di hari kiamat dengan badannya miring.
Sifat adil di antara isteri-isteri:
Suami wajib adil di antara isteri-isterinya di dalam membagi jatah gilir di dalam masalah menginap di malam hari, nafkah dan tempat tinggal. Adapun jima’, maka tidak wajib. Namun bila mungkin maka dianjurkan, dan tidak ada dosa dalam hal kecenderungan hati, karena hal ini tidak dia miliki.
Sunnahnya bila pria menikahi gadis (perawan) sedangkan sudah memiliki isteri yang lain adalah dia menetap padanya tujuh malam, terus dia kembali bergilir. Dan bila dia menikahi janda maka dia menetap padanya tiga (malam) terus kembali menggilir, dan bila (wanita ini) ingin tujuh hari (malam) maka dia (suami) melakukannya dan dia mengqadla waktu yang sama bagi isteri-isterinya yang lain, kemudian setelah itu ia membagi gilir satu malam bagi masing-masing.
عن أم سلمة رضي الله عنها أَنَّ رَسُولَ الله لَـمَّا تَزَوَّجَ أُمَّ سَ
ل
َـمَةَ أَقَامَ عِنْدَهَا ثَلاثاً وَقَالَ: «إنَّـهُ لَيْسَ بِكِ عَلَى أَهْلِكِ هَوَانٌ، إنْ شِئْتِ سَبَّعْتُ لَكِ، وَإنْ سَبَّعْتُ لَكِ سَبَّعْتُ لِنِسَائِي». أخرجه مسلم
Dari Ummu Salamah radliyallahu’anha bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tatkala menikahinya menetap padanya tiga (malam) dan berkata: “Sesungguhnya tidak ada keberatan bagimu atas keluargamu (suamimu), bila kamu mau maka aku memberi tujuh bagimu, dan bila aku memberimu tujuh (malam) maka aku memberi tujuh (malam) bagi isteri-isteriku yang lain”(HR. Muslim) [31]
Isteri yang gadis adalah asing terhadap suaminya dan asing atas meninggalkan keluarganya maka ia butuh kepada tambahan (waktu) untuk perkenalan (kondisi) dan untuk menghilangkan rasa asing, beda halnya dengan janda.
Isteri yang menghibahkan harinya bagi isteri yang lain dengan izin suaminya atau (menghibahkannya) bagi suaminya terus dia menjadikannya bagi isteri yang lain adalah boleh.
Orang yang memiliki beberapa isteri boleh masuk mendatangi isteri yang bukan gilirannya di hari itu dan mendekat darinya tanpa jima’ serta memeriksa keadaan-keadaannya, kemudian bila datang malam maka ia kembali kepada pemilik jatah gilirnya dan dia mengkhususkannya dengan malam.
Bila isteri safar tanpa izin suaminya atau ia menolak safar bersama suaminya atau menolak bermalam bersama suaminya di tempat tidur (suami)nya, maka tidak ada jatah gilir baginya dan tidak ada nafkah untuknya, karena itu maksiat seperti wanita yang nusyuz.
Disunnahkan bagi suami yang bepergian jauh agar tidak pulang mendadak mengagetkan isterinya, namun dia seyogyanya memberitahu mereka waktu kepulangannya supaya dia disambut isterinya dalam keadaan penampilan yang indah, dan supaya ia punya kesempatan menyisir rambutnya dan memotong rambut kemaluannya.
justify;">
Hukum bersalaman dengan wanita ajnabiyyah (bukan isteri dan bukan mahram): Wanita ajnabiyyah yang haram bersalaman atau berkhalwat dengannya adalah wanita yang bukan isteri dan bukan mahram baginya. Sedangkan mahram adalah: orang yang haram dinikahi selamanya baik dengan sebab kekerabatan atau susuan atau mushaharah.
Saudara-saudara suami atau saudara-saudara bapaknya atau saudara-saudara ibunya atau saudara-saudara sapupunya tidak boleh menyalami isteri-isteri, saudara-saudara mereka atau saudara-saudara bapaknya atau saudara-saudara ibunya atau saudara-saudara sepupunya, sebagaimana wanita ajnabiyyah lainnya, karena saudara itu bukan mahram bagi isteri saudaranya, dan begitu juga yang lalu.
Tidak boleh seseorang menyalami wanita ajnabiyyah darinya, dan lebih parah dari itu adalah menciumnya, baik ia pemudi maupun lanjut usia, dan baik yang menyalaminya itu pemuda ataupun lanjut usia, baik dengan penghalang maupun tidak berdasarkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
«إنِّي لا أُصَافِحُ النِّسَاءَ». أخرجه النسائي وابن ماجه
“Sesungguhynya aku tidak menyalami wanita”. (HR. An Nasai dan Ibnu Majah) [32]
Wanita muslimah haram menyalami pria ajnabi darinya, dan haram juga naik mobil sendirian bersama seorang pria ajnabi seperti sopir.
Suami isteri haram bersenggama dilihat orang lain dan haram membuka rahasia yang berkaitan dengan jima’ di antara mereka berdasarkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam: “Sesungguhnya di antara manusia yang paling buruk di sisi Allah kedudukannya di hari kiamat adalah pria yang menggauli isteri dan bersenggama dengannya dan terus dia membuka rahasianya”. (HR. Muslim) [33]
Isteri haram menolak bila di ajak suaminya ke tempat tidur:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله ×: «إذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَـهُ إلَى فِرَاشِهِ فَلَـمْ تَأْتِـهِ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْـهَا، لَعَنَتْـها المَلائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ». متفق عليه
Dari abu Hurairah radliyallahu’anhu berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Bila seorang laki-laki mengajak isterinya ke tempat tidurnya namun ia tidak mendatanginya, kemudian dia tidur dalam keadaan marah terhadapnya, maka ia dilaknati oleh malaikat sampai pagi”. (Muttafaq’alaih)[34]
Hukum safar wanita tanpa mahram
Haram atas wanita safar tanpa mahram, baik di mobil atau di pesawat udara atau kapal laut atau kereta atau yang lainnya berdasarkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
«لا تُسَافِرِ المَرْأَةُ إلا مَعَ ذِي مَـحْرَمٍ، وَلا يَدْخُلُ عَلَيْـهَا رَجُلٌ إلا وَمَعَهَا مَـحْرَمٌ». متفق عليه
“Janganlah wanita safar kecuali bersama mahram, dan jangan seorang pria masuk kepadanya kecuali ada mahramnya”. (Muttafaq’alaih)[35]
Sifat hijab syar’iy:
Hijab syar’iy wajib atas setiap muslimah yang baligh, yaitu menutupi (menghijabi) segala yang menarik bagi pria dengan memandang kepadanya seperti wajah, telapak tangan, rambut, leher, telapak kaki, betis, lengan, dan yang lainnya, berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ وَاللَّهُ لا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا (٥٣)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat. besar (dosanya) di sisi Allah”. (QS. Al Ahzab [33]: 53)
Wanita tidak boleh ikhtilat (berbaur) dengan pria ajnabi (asing/bukan suami dan mahram) di tepat kerja, sekolah, rumah sakit, dan yang lainnya, sebagaimana ia haram tabarruj dan menampakkan kecantikan dan kemolekannya kepada selain suaminya, karena hal itu menimbulkan fitnah. Wanita boleh berhijab dari orang (pria) yang bukan mahram baginya, seperti suami saudaranya, saudara-saudara sepupunya dan yang lainnya yang bukan mahram baginya.
Hukum mengkonsumsi apa yang mencegah kehamilan:
Keturunan adalah nikmat yang agung yang Allah karuniakan kepada hamba-hamba-Nya, dimana Islam menganjurkan dan menyemangati kepadanya, maka tidak boleh membatasi keturunan secara mutlak dan tidak boleh mencegah kehamilan bila maka tidak boleh membatasi keturunan secara mutlak dan tidak boleh mencegah kehamilan bila maksud dari hal itu adalah khawatir miskin.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”. (QS. Al Israa’ [17]: 31)
Haram memutus total kemampuan untuk memiliki keturunan pada laki-laki dan perempuan, yaitu dikenal dengan sebutan i’qam (tubektomi dan pasektomi) kecuali karena bahaya yang meyakinkan.Boleh bagi wanita dengan ridla suaminya mengkonsumsi apa yang mencegah kehamilan karena bahaya yang meyakinkan, umpamanya si wanita tidak melahirkan dengan persalinan yang normal atau dia sakit yang bahaya baginya bila hamil tiap tahun, maka tidak apa kalau seperti itu dari mencegah kehamilan atau menangguhkannya bila suami isteri itu rela dengan hal itu dan dengan cara yang disyari’atkan yang tidak ada bahaya di dalamnya terhadap si wanita, dan hal itu diputuskan oleh dokter yang terpercaya.
Hukum bayi tabung:
Bila isteri hamil dari sel telur dan sperma yang kedua-duanya milik orang lain, atau dari sel telur miliknya dan sperma pria lain maka ini adalah hamil zina yang haram secara syar’iy. Bila isteri hamil dari sperma suaminya setelah putusnya akad pernikahan dengan kematian atau thalaq maka ini haram. Bila sperma dan sel telur (ovum) dari pasangan suami isteri, sedangkan rahimnya adalah milik wanita asing yang dipinjam, maka ini haram juga. Bila sperma dan sel telur dari pasangan suami isteri dalam rahim isteri dia yang lain dengan pembuahan di dalam atau di luar maka ini haram juga. Bila sperma dan sel telur dari pasangan suami isteri di dalam rahim isteri pemilik sel telur dengan pembuahan di dalam atau di luar di dalam tabung kemudian dipindah ke rahim si isteri itu juga, maka ini diliputi sejumlah bahaya dan hal terlarang, maka dibolehkan bagi orang yang pada posisi darurat, sedangkan itu diambil sekedarnya saja. Dan wajib atas orang mukalaf bila mendapat ujian ini untuk bertanya kepada orang yang dia percayai agamanya dan ilmunya.
Laki-laki dan perempuan bila sempurna normal anggota tubuhnya, tidak halal mengalihkan salah satunya kepada jenis (kelamin) yang lain, dan upaya pengalihan (jenis kelamin) ini adalah kejahatan yang pelakunya berhak mendapatkan hukuman, karena ia adalah pengrubahan tanda-tanda ciptaan Allah, sedang ia itu haram.
Orang yang terkumpul pada anggota tubuhnya tanda-tanda wanita dan pria, maka dilihat: bila sifat pria lebih dominan terhadapnya maka boleh mengobatinya dengan apa yang bisa melenyapkan ciri kewanitaannya baik dengan operasi bedah maupun hormon.
Kehamilan wanita:
Setiap bulan wanita mengeluarkan sebuah sel telur dengan ketentuan Allah, dan kemudian bila datang waktu taqdir dan sperma membuahi sel telur itu, maka menyatulah sel telur dengan sperma itu dan hamillah si wanita itu, dan ia adalah nuthfah amsyaj (mani yang bercampur). Seringnya wanita melahirkan seorang anak saja di setiap tahun, dan kadang melahirkan kembaran dua laki-laki atau dua permempuan atau laki-laki dan perempuan, dan kadang melahirkan tiga atau lebih. Dan kembaran itu ada dua macam:
Pertama: Terjadi dari satu sel jantan dan dua sel telur yang terjadi dari keduanya dua kembaran yang persis serupa.
Kedua: Kembaran yang tidak serupa, dan itu terjadi dengan ketentuan Allah dari dua sel jantan yang membuahi dua sel telur, masing-masing membuahi satu sel telur. Wallahu a’lam.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
إِنَّا خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا (٢)
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan Dia mendengar dan melihat”. (QS. Al Insan [76]: 2)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya. Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Ali Imran [3]: 6)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ (٤٩)أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ (٥٠)
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha Kuasa”. (QS. Asy Syuraa [42]: 49-50)
0 Response to "Hak-Hak Suami Isteri"
Posting Komentar